Oleh: Anisa Bella Fathia, S.Si., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Bila menyimak beberapa kasus terakhir ini, rasanya dada semakin sesak. Begitu banyak permasalahan menyelimuti negeri ini. Masalah KDRT, ‘peringatan darurat’, toleransi kebablasan, kini kasus pemerkosaan hingga menewaskan yang dilakukan oleh anak-anak remaja yang masih sekolah. Kasus pemerkosaan hingga tewas ini terjadi pada siswi SMP (13 tahun) di Palembang yang dilakukan oleh empat orang siswa di antaranya berusia (16), (12), (12) dan (13) tahun.
Motif pelaku utama yang berusia 16 tahun itu melakukan tindakan keji karena cintanya ditolak oleh korban. Lalu ia mengajak tiga temannya yang masih duduk di bangku SMP untuk menyekap dan memerkosa korban. Korban dibekap dan kehabisan oksigen, pelaku menilai korban pingsan kemudian korban diperkosa secara bergiliran. Setelah itu korban dibawa ke lokasi lain, dalam keadaan tubuh telah meninggal, korban diperkosa kembali secara bergiliran. Polisi menyebut pelaku melakukan tindakan keji itu lantaran tidak kuat menahan syahwat birahi setalah menonton video porno di ponselnya.
Para pelaku dikenakan pasal 76C dan pasal 80 ayat 3 UU yakni penganiayaan dan pencabulan sesuai UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Merujuk pasal 69 UU nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, maka anak yang berhadapan dengan hukum akan dikenai tindakan berupa pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, atau perawatan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS), serta kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah/badan swasta. Dikarenakan tiga di antara pelaku masih berusia anak, maka mereka dititipkan di panti sosial rehabilitasi anak bermasalah hukum (PSR ABH) Indralaya. Adapun pelaku yang berusia 16 tahun mendekam di rutan Polrestabes Palembang (bbc.com, 14/9/24).
Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan anak sebagai pelaku dalam kasus pembunuhan AA, 13, di Palembang, Sumatra Selatan, tetap akan diproses hukum. Ia menjelaskan hukuman yang diberikan belum maksimal, lantaran pelaku masuk dalam kategori anak. Abdul menjelaskan anak yang berhadapan dengan hukum tidak mengenal hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Dan jika mendapat hukuman penjara, hal tersebut separuh dari hukuman orang dewasa (Metrotvnews.com, 10/9/24).
Saat ini orang tua korban sedang berusaha mencari keadilan untuk anaknya, karena menurutnya hukum tersebut tidak adil bagi korban dan keluarga korban yang ditinggalkan. Anak-anak yang sudah melakukan perbuatan bejat ini hanya mendapat rehabilitasi, ia ingin semua pelaku masuk penjara.
Menanggapi kasus ini, Komisi III DPR mendorong adanya revisi UU Peradilan Anak menyusul adanya pro dan kontra pemulangan tiga pelaku dugaan pemerkosaan dan pembunuhan AA (13), siswi SMP di Palembang, Sumatera Selatan. Bagaimana pun juga walaupun dilakukan oleh anak-anak, tindakan ini adalah keji dan biadab, tetap harus ada ganjaran hukumnya meski ketiganya masih dalam kategori anak berhadapan dengan hukum.
Begitulah kondisi hukum hari ini, pasal-pasal yang dibuat tidak membuat jera pelaku kriminalitas. Meskipun anak-anak, mereka dilindungi dengan aturan masih di bawah umur. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun. Maka hukuman pelaku kriminalitas di bawah 18 tahun lebih ringan dibandingkan dewasa.
Bila kita cermati keadaan anak atau remaja hari ini sangat jauh dari tingkah laku anak-anak secara normal pada usianya. Dengan kemajuan teknologi dan kemudahan akses internet, anak usia SD saja sudah kecanduan pornografi bahkan melakukan hubungan seksual. Selain itu, banyak juga dijumpai kasus anak-anak tawuran, bullying, dan lebih parahnya melakukan rudapaksa hingga membunuh. Apakah hal-hal sekeji itu masih tetap dikategorikan perbuatan anak yang dikarenakan otaknya belum matang seperti orang dewasa? Sehingga perlu dibina, di beri penyuluhan saja.
Sedangkan dalam Islam, kategori anak adalah sebelum anak mengalami baligh. Dan setelah anak sudah baligh artinya ia sudah dikatakan dewasa dan dikenai taklif (beban) hukum syara. Meskipun umurnya belum 18 tahun, namun ketika sudah baligh ia sudah bukan kategori anak-anak lagi, namun sudah dikatakan orang dewasa. Sehingga bila misalkan dijumpai anak usia 14 tahun laki-laki sudah baligh dan dia melakukan kejahatan, maka ia akan dihukum sesuai kejahatannya berdasarkan hukum syara. Bukan dibebaskan dan hanya diberi penyuluhan saja.
Hukum dalam Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, dan bentuk keimanan kepada Allah SWT. Allah SWT yang berhak membuat hukum dan Yang Maha Adil dalam menetapkan hukum. Sistem hukum Islam memiliki standar kebenaran yang jelas, sumber aturannya langsung dari Sang Maha Pencipta. Dalam Islam, hukum pidana sebagai zawajir (pencegah) artinya mencegah manusia dari tindak kejahatan. Jika masyarakat mengetahui bahwa membunuh akan dibunuh sebagai hukumannya, maka mereka tidak akan melakukan pembunuhan.
Allah SWT berfirman “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” [TQS al-Baqarah ayat 179].
Hukum Islam juga sebagai jawâbir (penebus) dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang Muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan oleh negara yang menerapkan Islam. Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi SAW, “Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya,” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].
Hukuman zawajir dan jawabir ini tidak ditemui dalam sistem sekuler kapitalis. Maka tidak heran bila kriminalitas semakin marak terjadi, bahkan pelakunya sudah banyak dilakukan oleh usia anak-anak dan remaja. Generasi remaja tidak akan takut untuk melakukan kejahatan karena terlindungi oleh hukum yang lemah. Maka, kembalikanlah aturan-aturan kehidupan kepada aturan Sang Pencipta agar rahmat Allah bisa kita rasakan di negeri ini. []