Oleh: TB. Kusai Murroh, S.Pd., S.H., M.H.
Akademisi dan Penasehat Hukum LPPH-BPPKB Banten
Kehadiran media sosial telah memberikan berbagai kemudahan bagi manusia dalam melakukan interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Saat ini media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat dunia. Karena itu, dalam hitungan detik, apa yang diposting ke dunia maya akan dengan mudah diakses oleh pengguna lain. Semua itu dapat dilakukan hanya dengan menggunakan smartphone.
Meskipun memberikan beragam kemudahan, tetapi kehadiran media sosial juga perlu dimanfaatkan secara bijak dan penuh kehati-hatian. Sikap ini perlu dimiliki oleh para pengguna media sosial. Sebab, pengguna media sosial yang belum memiliki kesadaran dan sikap kritis sangat berisiko menjadi korban kejahatan mayantara (cybercrime) dan penyebaran berita bohong (hoax).
Meningkatnya kejahatan siber atau mayantara tidak dapat dilepaskan dari semakin banyaknya aktivitas masyarakat di duni maya. Kemajuan teknologi juga telah mendorong kejahatan konvensional seperti copet, jambret dan premanisme menjadi kejahatan siber seperti peretasan data, carding, hingga penipuan online. Pelaku kejahatan siber dapat dipastikan adalah orang-orang pintar yang paham bagaimana algoritma dan pemrograman komputer dijalankan. Dengan kepintarannya itulah pelaku cybercrime dengan mudah mencuri data-data kita demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani 124 kasus dugaan pelanggaran pelindungan data pribadi sepanjang 2019 hingga 14 Mei 2024. Sebanyak 111 kasus di antaranya tergolong kasus kebocoran data pribadi (Kompas, 3/6/2024).
Yakhamid (2023) menyatakan, ada tiga jenis kejahatan siber. Pertama, unauthorized access, kejahatan dengan cara menyusup ke dalam sistem komputer tanpa izin dan tanpa sepengetahuan pemilik sistem. Dengan cara ini, pelaku dapat mencuri data-data pemilik sistem sehingga dapat melakukan pembajakan dan perusakan sistem (hacking dan cracking). Kedua, illegal contents, kejahatan berupa penyebaran sesuatu yang menyesatkan ataupun tidak etis yang melanggar norma-norma masyarakat seperti misalnya penyebaran berita bohong (hoax) dan penyebaran konten pornografi. Ketiga, penyebaran virus, kejahatan dengan tujuan melumpuhkan perangkat korban hingga pencurian dan perusakan data dengan cara menyusupkan virus seperti yang terkenal adalah trojan dan ransomware.
Selain kejahatan siber, maraknya penyebaran berita bohong (hoax) juga menjadi ancaman serius bagi pengguna media digital. Kalau dulu informasi negatif dan fitnah menyebar dari mulut ke mulut, tetapi di era kemajuan teknologi saat ini berbagai informasi negatif berkembang lebih cepat. Produksi berita bohong akan semakin meningkat jika tidak ada upaya konkret untuk melawannya. Merebaknya berita bohong merupakan masalah krusial yang apabila tidak segera ditangani akan merugikana masyarakat, memecah belah umat, memengaruhi opini publik dan dapat memprovokasi masyarakat.
Islam sendiri melarang keras penyebaran hoax dan mendorong kita untuk tidak menerima secara langsung berbagai informasi yang bertebaran di dunia maya. Islam mengajarkan umatnya untuk selektif dan melakukan verifikasi terlebih dahulu terhadap berita yang diperoleh sebelum membagikannya kepada pengguna lain. Dalam konteks ini, Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman. Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu (QS. Al-Hujurat: 6).
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023. Dari hasil survei penetrasi internet Indonesia 2024 yang dirilis APJII, maka tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5%. Dengan tingkat penetrasi internet di Indonesia yang terus meningkat, maka potensi kejahatan siber dan penyebaran informasi bohong dapat dipastikan juga akan meningkat. Karenanya, persoalan ini harus menjadi perhatian kita bersama.
Tawaran Solusi
Kejahatan siber dan penyebaran hoax menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah literasi digital masyarakat kita yang terbilang rendah. Karena itu, dibutuhkan langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan ini. Jika menilik hukum pidana di Indonesia kaitannya dengan kejahatan dunia maya, terdapat aturan yang dapat diberlakukan.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan piranti hukum terbesar yang diharapkan dapat mengakomodir segala jenis pelanggaran dalam bidang IT. Disamping terdapat perlindungan hukum, di sana juga terdapat ancaman sanksi pidana atas pelanggaran yang dilakukan.
Dalam pasal 30 ayat 1 UU ITE disebutkan bahwa setiap orang dilarang secara tegas masuk kedalam sistem elektronik milik orang lain yang bersifat privasi atau pribadi. Sanksi pidananya dapat menjerat pelaku peretasan tersebut telah diatur secara jelas dalam pasal 46 ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasl 30 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 600 juta.
Penyebaran berita bohong yang jelas-jelas dapat memecah belah masyarakat, maka pelakunya juga dapat dijerat dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Aturan soal penindakan terhadap kasus penyebaran berita bohong itu memuat bahwa pelaku dapat terancam hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Di samping penindakan hukum terhadap pelaku penyebaran hoax dan tindak pindana kejatan siber, maka diperlukan juga penguatan literasi digital. Menurut Paul Gilster (2017), literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui berbagai perangkat digital.
Mengedukasi masyarakat khususnya generasi muda tentang memanfaatkan teknologi yang baik perlu kolaborasi antarpihak. Dalam konteks ini, pemerintah, lembaga pendidikan, media, korporasi, dan lembaga swadaya masyarakat perlu bekerja sama memperluas dan memperkuat literasi digital dengan berbagai program edukasi yang mudah diterima masyarakat.
Dengan demikian, berbagai tindak kejahatan mayantara (cybercrime) harus diwaspdai dan menjadi alarm bagi kita bersama. Kita harus lebih waspada dari potensi kejahatan di dunia maya dengan cara meningkatkan kecakapan digital. Tentu, langkah ini perlu didukung dengan kesadaran hukum di kalangan masyarakat. Kesadaran hukum dalam menghadapi kejahatan mayantara dapat ditingkatkan melalui sosialisasi tentang perlindungan data pribadi dan cybercrime oleh pihak penegak hukum dan pihak lain yang selama ini fokus dalam penanganan kejahatan siber. Upaya ini perlu dilakukan berjamaah sebagai sebuah ikhtiar melawan segala bentuk kejahatan mayantara yang kapan saja bisa terjadi pada diri kita.