MAJALAH EKONOMI – Perusahaan raksasa mode asal AS Forever 21 mengajukan kebangkrutan untuk kedua kalinya dalam enam tahun ke pengadilan.
Mereka juga menyatakan akan menghentikan operasi. Langkah itu diambil buntut tekanan kinerja dan meningkatnya persaingan di sektor mode yang terjadi belakangan ini.
Imbas masalah itu mereka terlilit utang mencapai US$1,58 miliar atau Rp25,86 triliun setelah mengalami kerugian lebih dari US$400 juta atau Rp6,54 triliun dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2024, berdasarkan dokumen pengadilan kebangkrutan di Wilmington, Delaware, perusahaan ini merugi US$150 juta atau Rp2,45 triliun dan diperkirakan akan mengalami kerugian sekitar US$180 juta atau Rp2,94 triliun pada 2025.
“Kami belum dapat menemukan jalur berkelanjutan ke depan, mengingat adanya persaingan dari perusahaan mode cepat asing, yang mampu memanfaatkan pengecualian de minimis untuk melemahkan merek kami dalam hal harga dan margin,” kata Brad Sell, kepala keuangan di perusahaan yang mengoperasikan 354 toko Forever 21 di AS, melansir Reuters.
Perusahaan menyalahkan masalah tersebut pada perlakuan bebas bea atas paket berbiaya rendah dari China. Bebas biaya paket pengiriman itu melemahkan daya saing atas produk mereka.
Aturan ini memberikan keuntungan bagi peritel online asal China, seperti Shein dan Temu, untuk menawarkan harga yang sangat rendah.
Administrasi Presiden AS Donald Trump sempat berencana mencabut kebijakan tersebut. Tetapi akhirnya menangguhkannya setelah perubahan mendadak menyebabkan gangguan bagi petugas bea cukai, layanan pos, serta peritel daring.
Didirikan pada 1984 di Los Angeles, AS oleh imigran Korea Selatan, Forever 21 sempat menjadi merek favorit bagi anak muda yang mencari pakaian modis dengan harga terjangkau.
Di masa kejayaannya, perusahaan ini memiliki 800 toko di seluruh dunia, mempekerjakan 43 ribu orang, dan mencatatkan penjualan tahunan lebih dari US$4 miliar.
Namun, perubahan tren belanja akibat meningkatnya e-commerce dan penurunan jumlah pengunjung mal di AS telah memukul bisnis ritel seperti Forever 21 dan Express, pemilik Bonobos, yang juga mengajukan kebangkrutan tahun lalu.
“Peritel berbasis toko fisik seperti Forever 21 beroperasi dalam lingkungan yang sangat kompetitif, di mana biaya bisnis semakin mahal dan terus meningkat seiring inflasi,” kata Sarah Foss, kepala hukum dan restrukturisasi di Debtwire, perusahaan penyedia data dan analisis keuangan.
Menurut data Debtwire, sejak awal 2024, ada 20 perusahaan ritel yang mengajukan kebangkrutan. Selain itu, sejak 2016, sedikitnya 25 jaringan ritel telah mengalami kebangkrutan lebih dari satu kali.