DEPOKPOS – Beberapa hari lalu, di Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah sebuah momen penting yang disiarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melalui akun instagramnya @ditjenpas, bahwasanya terdapat 159.557 narapidana dan anak binaan muslim yang mendapat remisi khusus (RK) bagi narapidana dan Pengurangan Masa Pidana (PMP) bagi anak binaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa 977 narapidana menerima RK II atau langsung bebas, 157.366 narapidana menerima RK I yaitu harus menjalani sisa masa pidana, 1.214 sisanya adalah anak binaan yang mendapatkan Pengurangan Masa Pidana. Anggaran negara yang dihemat melalui pemberian remisi khusus ini adalah sebesar Rp. 81.204.295.000.
Pengurangan masa pidana di hari istemewa ini memberikan kesan baik bagi para umat muslim yang sedang berada dalam penjara. Kepada mereka yang telah menunjukkan perilaku baik serta telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang pemasyarakatan akan diberikan insentif berupa pemotongan masa pidana dan bahkan ada yang langsung bebas.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, remisi diartikan sebagai pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk ketentuan persyaratan tertentu untuk mendapatkan remisi ini diatur dalam pasal 10 ayat 2 UU pemasyarakatan dan juga harus merujuk pada Permenkumham No 03 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.
Remisi merupakan strategi pemasyarakatan sebagai organisasi public dalam memberikan pelayanannya, selain mengurangi anggaran negara yang telah di jelaskan di atas, remisi ini juga akan berkontribusi untuk membenahi sedikit tentang masalah overcrowding pemasyarakatan. Namun tidak sedikit dari masyarakat beranggapan bahwa pemberian remisi ini merupakan permainan petugas pemasyarakatan, remisi bisa dibeli dan remisi harus berbayar.
Pelaksanaan pemberian remisi ini juga memiliki tantangan tersendiri, dimana strategi pemasyarakatan sebagai organisasi public dalam memberikan pelayanannya menimbulkan risiko-risiko baru yang dihadapkan pada pemasyarakatan itu sendiri. Risiko tersebut dapat berupa peristiwa yang dianggap negatif atau buruk, dapat menimbulkan kerugian dan terjadi di masa yang akan datang.
Sebagai organisasi public yang terus berproses melalui inovasinya, pemasyarakatan sendiri perlu menjalankan beberapa tahapan dalam siklus manajemen risiko. Secara singkat, terdapat 4 tahapan dalam siklus manajemen risiko yang harus diaktualisasikan oleh pemasyarakatan dalam mengelola resiko pemberian remisi ini.
Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko dalam pemberian remisi ini adalah mengidentifikasi seluruh risiko yang berpotensi muncul untuk menghalangi, menurunkan, atau menunda tercapainya pemberian remisi yang ada di Pemasyarakatan. Beberapa risiko yang dapat muncul dari adanya pemberian remisi dalam strategi pemasyarakatan sebagai organisasi public.
Ketidakadilan Penilaian Petugas karna menilai dengan subjektif
Munculnya Korupsi dan Jual Beli Remisi
Meningkatkan kecemburuan maka dapat berpotensi menjadi risiko keamanan
Ketidakberhasilan Reintegrasi Sosial akan terjadi jika pemberian remisi tanpa persiapan yang memadai melalui pembinaan dan kemungkinan besar dapat menjadi residivis.
Analisa Risiko
Pada tahapan selanjutnya adalah analisis risiko. Tahapan ini akan menilai bagaimana pengaruh risiko terhadap organisasi. Sehingga seluruh risiko yang diidentifikasi diatas dapat diurutkan berdasarkan ukuran dan skala resiko. Namun sebelumnya perlu dilakukan pemetaan dimana kemungkinan risiko ini akan muncul dan sumber risiko tersebut. Sehingga jika diurutkan dari resiko tertinggi maka urutan resiko yang perlu didahulukan adalah D-C-B-A.
Pengelolaan Risiko
Tahapan ini terdiri dari menempatkan alternatif keputusan, analisis setiap alternatif dari berbagai sudut pandang, serta memutuskan dan melaksanakan alternatif. Proses bertujuan menentukan jenis alternatif yang efektif dan efisien untuk suatu risiko. Tujuannya adalah bagaimana remisi yang diberikan kepada mereka (narapidana) yang telah menunjukkan komitmen yang sungguh-sungguh untuk berubah maupun berkelakuan baik dan reintegrasi sebagai anggota masyarakat yang produktif.
Penanganan risiko dapat dilakukan dengan cara:
Memberikan Intensif pembinaan yang cukup untuk para narapidana yang mendapatkan remisi sehingga pemberian remisi dibarengi dengan pembinaan yang didapatkan narapidana akan meminimalisir mereka menjadi residivis karna telah dipersiapkan dengan skill baru untuk dipakai dalam lingkungan masyarakat
Untuk menghindari kecemburuan antara sesama narapidana, perlu dilakukan sosialisasi tentang remisi atau melalui banner yang dipasang di lingkungan lapas. Sehingga antar narapidana memiliki informasi yang sama.
Untuk menghindari Jual beli remisi maka perlu dikembangkan lagi sistem usulan remisi yang secara otomatis terdata melalui SDP. Selain itu perlu ditingkatkan dan diimplementasikan kinerja pengawas internal dan eksternal lapas.
Memperbaiki syarat dari pemberian remisi ini, karena sangat subjektif pada point berkelakuan baik dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko. Mungkin dapat mengembangkan sebuah penilaian yang lebih objektif lagi seperti assessment risk, RRI atau penggunaan SPPN. Sehingga untuk menentukan berkelakuan baik itu merupakan hasil assessment yang telah objektif. Permenkumham yang mengatur remisi ini harus terus dibenahi supaya pemberian remisi ini dilakukan secara objektif dan adil.
Monitoring Risiko
Pada tahapan ini maka pemasyarakatan akan selalu mengawasi seberapa jauh alternatif yang dipilih dalam menangani risiko tersebut. Tingkat keberhasilan dalam hal ini diperhatikan, jika tidak berhasil maka perlu pengkajian ulang dalam bentuk alternatif yang diberikan.
Selain menggunakan tahapan di atas, dalam menangani risiko yang timbul dari pemberian remisi, maka pemasyarakatan khususnya lapas dapat mengadopsi Committee of Sponsoring Organization (COSO) Internal Control Framework. Berikut dijelaskan manajemen risiko pemberian remisi menggunakan 5 komponen kerangka COSO,
Control Environment
Control Environment berupaya memastikan bahwa semua proses pemberian remisi didasarkan pada SOP yang ada dan berdasarkan UU dan Permenkumham yang mengaturnya. Hal ini dapat membantu memastikan bahwa layanan ini dijalankan secara bertanggung jawab. Beberapa tindakan yang dilakukan pemasyarakatan adalah melakukan sosialisasi tentang remisi dan menempel banner tentang tata-syarat pemberian remisi di lingkungan Lapas.
Risk Assessment
Risk Assessment didasarkan pada gagasan bahwa organisasi akan mengadopsi rencana manajemen risiko yang membantu mereka mengidentifikasi risiko dan mengurangi atau menghilangkan risiko yang dianggap menimbulkan ancaman terhadap kesejahteraan organisasi. Beberapa Risk Assessment yang dilakukan oleh lapas dapat secara kualitatif maupun kuantitatif.
Control Activities
Pengendalian Aktivitas dapat juga melalui pengendalian internal dimana untuk memastikan bahwa proses pemberian remisi ini dilakukan dengan tepat dan adil guna mencapai tujuan pemasyarakatan tanpa menimbulkan risiko.
Information and Communication
Aturan komunikasi diterapkan untuk memastikan bahwa komunikasi internal dan eksternal mematuhi persyaratan hukum, nilai etika, dan praktik standar industri. Contohnya adalah adanya rapat kerja dan laporan pertanggungjawaban petugas yang mengangibremisi kepada Kasi-nya dan sampai ke KaLapas. Untuk komunikasi eksternal, Lapas menyediakan layanan pengaduan untuk mengunjung dan Narapidana serta Komunikasi dengan Kanwil
Monitoring
Pemantauan dilakukan oleh pengawas internal yang memastikan bahwa petugas mematuhi pengendalian internal yang telah ditetapkan dalam memberikan layanan remisi. Sebagai organisasi publik, pengawas internal juga biasanya mengevaluasi kepatuhan organisasi terhadap peraturan dalam hal ini dapat dilakukan oleh Kanwil, Inspektorat maupun DPR langsung. Dalam hal ini hasilnya akan dilaporkan ke pejabat berwenang.
Pemberian remisi merupakan bagian dari strategi publik dalam sistem hukum dan pemasyarakatan suatu negara. Strategi publik ini bertujuan untuk meningkatkan perilaku positif narapidana, menghemat anggaran, mempercepat kesempatan untuk reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat setelah menjalani hukuman mereka. Remisi diberikan berbarengan program intensif rehabilitasi untuk mengubah perilaku kriminal menjadi perilaku yang lebih positif. Pemberian remisi kepada narapidana akan memotivasi narapidana lain untuk memperbaiki perilaku mereka dan patuh pada aturan.
Salah satu isu utama adalah ketidak konsistenan dalam pemberian remisi di berbagai lembaga pemasyarakatan, menyebabkan ketidakadilan dan kerugian bagi narapidana lain. Terkadang, terdapat ketidakjelasan mengenai kriteria penilaian remisi, yang mengakibatkan subjektivitas dan persepsi ketidakadilan dalam proses tersebut. Dikhawatirkan remisi dieksploitasi untuk tujuan politis, seperti memberikan remisi secara tidak proporsional atau tidak adil kepada narapidana tertentu.
Untuk mengatasi masalah ini, langkah-langkah konkret diperlukan, seperti menetapkan kriteria yang jelas dan objektif untuk pemberian remisi, meningkatkan koordinasi dan pengawasan di antara lembaga pemasyarakatan, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses remisi, mempromosikan pengembangan program pembinaan yang lebih efektif untuk mendukung narapidana dalam memperbaiki perilaku mereka, dan memastikan bahwa remisi diberikan secara adil dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik atau pribadi.
Upaya ini memerlukan kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga penjara, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil, untuk meningkatkan efektivitas dan keadilan pemberian remisi di Indonesia.
Fandalen Situmorang