Oleh : Rida Asnuryah, Penulis Blog
Baru-baru ini, Kemenag resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menag Nasaruddin Umar menyebut KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum tersebut hadir sebagai respon terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang kian mengkhawatirkan.
Ia menekankan urgensitas menjadikan cinta sebagai inti dari pendidikan. Menurutnya, spiritualitas harus kembali menjadi roh pendidikan, termasuk dalam pendekatan ekoteologi, yakni kesadaran bahwa manusia bukan penguasa atas alam, tetapi bagian dari sistem kehidupan yang saling menjaga.
Kurikulum Berbasis Cinta dibangun di atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yaitu: Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada diri dan sesama, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa dan negeri. (Republika.co.id, 26-7-25)
Realita Kurikulum Cinta
Bila dilihat sekilas, kurikulum cinta ini dari namanya saja nampak menawarkan harapan besar dengan gagasan yang sangat baik, tapi benarkah demikian? Sama sekali tidak.
Realitanya, ada bahaya mengancam di balik kurikulum ini, di antaranya adalah deradikalisasi sejak dini, dengan segala macam bentuknya. Misal dengan dalih cinta sesama serta toleransi, di dunia pendidikan diajarkan pluralisme (anggapan bahwa semua agama benar), padahal Allah swt menegaskan dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah ialah Islam… .” {Qs. Ali Imran :19}
Maka, anak akan bingung, tidak bisa membedakan mana agama yang benar dan yang salah/sesat. Karena semua agama dianggap sama benarnya, motivasi dan alasan untuk terus memeluk agamanya pun tidak ada, sangat mungkin bila di masa depan nanti ia akan dengan mudahnya gonta-ganti agama. Jika ada muslim yang berpegah teguh dan bangga terhadap agamanya sebagai satu-satunya agama yang benar, akan dianggap intoleran. Hal ini pun akan membuka peluang muslim mengecam dan bersikap keras pada saudaranya sesama muslim yang mengemban pemikiran tersebut. Sementara untuk non-muslim, mereka diperlakukan begitu hormat, sangat lembut dan santun, ikut merayakan hari raya bersama-sama, dsb.
Lebih jauh lagi, bukan hal mustahil jika Muslim yang hendak menerapkan syariat Islam kaffah, akan kena cap radikal dan ekstrim, dimusuhi, dipersekusi, dsb.
Semua ini dinilai sebagai upaya mencegah tindak kekerasan atau anarkisme antar agama. Padahal, meyakini agama Islam sebagai satu-satunya agama yang benar tidak akan memicu tindak kekerasan, fakta dan sejarah telah membuktikannya. Dalam Islam, seorang muslim dilarang mendzalimi orang kafir tanpa alasan, Nabi saw bersabda :
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ketahuilah, bahwa siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-muslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)
Nampaklah bahwa kurikulum cinta ini justru malah keliru dalam meletakkan posisi cinta seorang muslim.
Kurikulum ini pun berasas pada sekulerisme ; paham pemisahan agama dari kehidupan, karena menjauhkan generasi dari aturan agama. Akal dinobatkan sebagai sumber hukum dan penentu segala sesuatu, halal dan haram tak lagi jadi acuan. Lantas, tak berlebihan jika mengatakan bahwa Kurikulum Berbasis Cinta ini adalah sekulerisasi yang dibalut secara ‘ciamik’ dengan nama “cinta”.
Padahal dalam islam, sekularisme adalah konsep yang salah dan bathil. Sebab Allah telah menyeru orang-orang beriman untuk masuk ke dalam islam secara menyeluruh. (lihat : Qs. Al-Baqarah ayat 208)
Oleh karena itu, Islam menetapkan seluruh aspek kehidupan, termasuk kurikulum pendidikan harus berasaskan akidah Islam, bukan yang lain. Negara punya kewajiban menjaga akidah rakyatnya, dengan menjadikan akidah islam sebagai dasar segala sesuatu. Apalagi dalam Pendidikan yang merupakan bidang strategis bagi masa depan bangsa.
Bila akidah umat kuat, maka mereka akan taat secara totalitas kepada syariat Allah, sehingga mampu menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupannya. Termasuk dalam menjawab persoalan krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang digadang-gadang menjadi dasar pertimbangan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Cinta ini.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).
Kurikulum Berbasis Cinta yang di bangun di atas pemikiran-pemikiran yang berlawanan dengan ajaran Islam bukanlah solusi atas problem antar umat beragama. Harapan adanya toleransi yang hakiki, serta kerukunan antar umat beragama, hanya bisa terwujud dalam Darul Islam, sebagaimana pernah terwujud di masa lampau.
Wallahu A’lam… .