Ilustrasi Pengembangan Nuklir. Foto dari Daniele La Rosa Messina. Diakses melalui Pexels.com
Oleh Silva Hafsari
Perang Korea adalah sebuah bukti bahwa perbedaan ideologi akan memecahkan satu bangsa, yaitu Korea Selatan dengan Korea Utara. Kendati bersaudara, pemerintahan mereka berjalan berbeda dengan mendeklarasikan sebagai 2 negara yang berdaulat. Hal itu membuktikan secara global mereka memiliki batas sovereignty yang tidak boleh diganggu satu sama lain.
Pernah bercita-cita menjadi satu korea dalam proses reunifikasi, namun tujuan tersebut hanya dikenal sebagai sebuah unrealized dream pada 15 Januari 2024 karena dengan unilateral Kim Jong Un merusak monumen Harapan Reunifikasi. Hal itu menunjukan bahwa kemustahilan dua negara dengan supremasi berbeda dapat kembali bersatu dan bukan menjadi tanda perang kembali diserukan.
Dari riwayat sejarah, kedua negara ini terlibat Perang Korea dari 1950-1953. Disebut sebagai proxy war dari perlawanan dua kekuatan besar antar sekutu dan aliansi. Di pihak Korea Selatan, didominasi oleh western state yakni Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Inggris sedangkan di pihak Korea Utara, terdapat negara dengan garis ideologi yang sama yakni Tiongkok dan Uni Soviet. Hal tersebut menunjukan bahwa hubungan Korea Selatan dan Korea Utara tidaklah terlalu harmonis.
Semenajung Korea adalah wilayah pertunjukan para aktor global untuk membuktikan eksistensi kekuatannya baik secara soft-power maupun hard-power. Tidak hanya itu, perbincangan isu nuklir yang dikembangkan Korea Utara menjadi faktor ketidakstabilan regional, pun banyak pihak menyoroti hal tersebut adalah sebuah ancaman perdamaian dunia.
Korea Utara dan Security Dilemma
Sejak beberapa dekade terakhir dunia menyaksikan peningkatan ketegangan di Semenanjung Korea dan sekitarnya. Banyak pihak, terutama negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, menganggap upaya Korea Utara untuk mengembangkan senjata nuklir sebagai ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas global. Namun, jika kita melihat dari perspektif yang lebih luas, tindakan Korea Utara ini digunakan sebagai tindakan preventif untuk mencegah perlawanan dari negara-negara lain dan bagian dari Self-Defence.
Argumen tersebut dilandasi karena sebagai negara isolasionis tanpa beraliansi dan membatasi melakukan hubungan luar negeri, sangat perlu memiliki kekuatan militer yang dapat dijadikan sebagai bargaining position supaya dilihat sebagai negara kuat dan dipertimbangkan.
Menurut data, dari segi daya ledak kekuatan nuklir Korut bahkan lebih kecil dibanding negara seperti Amerika Serikat dan Rusia sekalipun, namun sebagai negara yang tidak bernaung pada Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), hal tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi dunia internasional karena tindakan Korea Utara dianggap “unpredictable”.
Kekhawatiran Korea Utara adalah penggambaran penting untuk melihat urgensi pengembangan nuklir, dilihat dari sisi geostrategis kepemilikan senjata nuklir adalah advantage tersendiri bagi Korut karena berbatasan langsung dengan negara sekutu AS yaitu Korea Selatan. Dari sisi kemungkinan, butuh waktu lama isu nuklir Korea Utara menjadi landasan untuk aksi penyerangan melainkan hanya bentuk siaga.
Dinamika Keamanan dan Campur Tangan Amerika Serikat
Salah satu aspek yang penting dalam isu nuklir Korea Utara adalah narasi yang dibangun oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Penggambaran Korea Utara sebagai negara yang tidak rasional dan agresif, serta ancaman besar terhadap keamanan global. Namun, narasi ini seringkali mengabaikan fakta-fakta penting lainnya.
Amerika Serikat sebagai negara adidaya tentu memiliki kepentingan untuk memperluas eksistensi pengaruh, fakta sejarah mengungkapkan AS seringkali mengintervensi negara-negara yang mengembangkan senjata nuklir, seperti Iran dan Irak. AS sering kali menggunakan weapon of mass destruction (WMD) sebagai alasan untuk memberlakukan sanksi, bahkan intervensi militer.
Dalam kasus Korea Utara, AS kerap kali memperbesar ancaman yang sebenarnya untuk membenarkan kehadiran militernya di kawasan Asia Timur, termasuk penempatan sistem pertahanan anti-rudal di Korea Selatan dan Jepang.
Poin krusial lainnya adalah AS memiliki peran dalam meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea dengan latihan militer bersama Korea Selatan, yang sering dianggap Korea Utara sebagai provokasi langsung. Meskipun begitu, AS terus membalikan fakta Korea Utara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas meningkatnya ketegangan di kawasan ini, tanpa berkaca pada tindakan-tindakan yang berkontribusi pada situasi tersebut.
Permasalahan nuklir di Semenanjung Korea adalah isu yang kompleks yang bersinggungan dengan berbagai kepentingan politik dari berbagai pihak. Sementara dunia internasional, khususnya Amerika Serikat, cenderung melihat Korea Utara sebagai ancaman terhadap perdamaian global, kendati begitu penting untuk juga mempertimbangkan perspektif Korea Utara. Tindakan Korea Utara dalam mengembangkan senjata nuklir bisa dilihat sebagai respons terhadap isolasi politik, tekanan ekonomi, dan ancaman militer dari kekuatan eksternal.
Dengan memahami bahwa pengembangan nuklir Korea Utara adalah bentuk pertahanan diri dan cara untuk melindungi kedaulatan negara mereka, membuat pendekatan yang lebih komprehensif dalam menyelesaikan masalah ini. Alih-alih terus-menerus menyalahkan dan memperburuk ketegangan, dialog dan diplomasi adalah kunci untuk mencapai stabilitas di kawasan tersebut dan menghindari potensi konflik nuklir yang lebih besar.
Dengan demikian, atas nama perdamaian dunia, dunia internasional perlu lebih memahami dinamika di balik pengembangan senjata nuklir di Korea Utara dan mencari solusi yang berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Silva Hafsari
Mahasiswi HI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sedang mengabdi menjadi Duta Baca Jawa Barat.