Pengawasan Syariah Terhadap Lembaga Keuangan Islam di Indonesia dan Dunia

DEPOKPOS – Pada tahun 1970 lembaga keuangan islam mulai tumbuh dan berkembang di negara Mesir. Barulah setelah beberapa dekade lembaga keuangan islam menyebar kedalam negara-negara bagian Timur Tengah, Timur Jauh, Eropa dan juga sampai kepada Amerika Serikat. Semakin hari jumlah dari lembaga keuangan Islam didunia semakin bertambah.

Tercatat pada tahun 2009, kurang lebih ada sekitar 458 lembaga keuangan islam yang tersebar di wilayah-wilayah dunia. Ini merupakan jumlah yang terbilang cukup besar bagi lembaga keuangan berbasis islam. Dengan seiring berkembangnya lembaga keuangan islam di dunia, maka dibentuk lah organisasi berbasis islam dengan skala internasional. Yang mana fungsinya adalah sebagai pembuat standar-standar akuntansi syariah yang diperuntukan bagi lembaga keuangan islam.

Standarisasi ini merupakan suatu hal yang perlu dilakukan, agar lembaga-lembaga keuangan islam tersebut mempunyai standar yang baik dalam melakukan kegiatan bisnisnisnya. Yaitu sesuai dengan syariah yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu, standarisasi ini juga berguna untuk menyelaraskan praktik-praktir tata kelola diantara lembaga keuangan islam (LKI).

Salah satu contoh dari organisasi yang melakukan standarisasi akuntansi dalam skala internasional adalah AAOIFI, AAOIFI ini merupakan singkatan dari Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Institutions. Organisasi ini dibentuk di negara Bahrai pada tahun 1991 dengan jumlah kurang lebih 160 anggota lembaga dari 40 negara di dunia.

Sampai saat ini organisasi tersebut telah mengeluarkan sebanyak 88 standar akuntansi dan audit yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam pelaporan keuangan islam diseluruh negara-negara didunia. Dalam praktik nya setiap negara mempunyai ketentuan yang berbeda-beda dalam mengadopsi standar yang dikeluarkan oleh organisasi AAOIFI ini.

Ada beberapa negara yang menerapkan peraturan wajib dalam menerapkan standar dari AAOIFI ini, ada pula beberapa negara yang menjadikan AAOIFI ini hanya sekedar pada dasar standar atau sebagai pedoman dalam penyusunan standar syariah dan standar akuntansi syariah didalam suatu lembaga keuangan islam (LKI).

Untuk menjalankan aktivitas bisnisnya, maka lembaga keuangan islam (LKI) harus diawasi oleh pengawas. Namun untuk menjalankan pengawasan syariah, ada beberapa standar yang perlu ditetapkkan. Seperti di Indonesia, peran DPS akan diatur dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan, lalu ada juga peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah dan yang terakhir adalah peraturan dari POJK 59/2017 tentang Remunerasi untuk Dewan Pengawas Syariah. Dimana fungsi dan inti peran dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) ini adalah memberikan saran dan nasihat kepada pimpinan dari suatu lembaga keuangan Islam (LKI) dan juga melakukan pengontrolan terhadap aktivitas bank agar tetap pada prinsip syariah.

Di Indonesia kedudukan DPS berada di bawah DSN-MUI. Maka dari itu, DSN-MUI yang akan menetapkan peraturan kepada Dewan Pengawas Syariah dengan suatu peraturan DSN-MUI No. PER-01/DSN-MUI/X/2017 tentang Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah (LPS).

Isi nya adalah setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah (LPS) harus mempunyai setidaknya 3 (tiga) orang anggota DPS, yang mana salah dari anggota DPS tersebut ditetapkan sebagai ketua. Namun untuk lembaga yang masih dalam skala bisnis yang kecil, maka jumlah dari anggota DPS nya minimal berjumlah 2 (dua) orang yang mana salah satunya harus ditetapkan sebagai Ketua.

Setiap pengawas syariah mempunyai posisi penting dalam struktur tata kelola lembaga keuangan islam (LKI). Baik itu dari sisi agama, social, ekonomi, hukum maupun pemerintahan. Peran pengawas syariah sangat diperlukan dalam menghilangkan keraguan dari para pemangku kepentingan seperti investor, terkait dengan aktivitas yang dikerjakan oleh suatu lembaga keuangan islam (LKI). Dengan adanya kehadiran pengawas syariah tentu hal ini akan menjadi suatu penegasan atas kepatuhan dan keabsahan sebuah lembaga terhadap syariat islam.

Ada berbagai macam nama dan bentuk dari pengawasan syariah di setiap negara. Ada yang menamakannya dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS), ada pula yang menamakan dengan Shariah Supervisory Bord atau Shariah Supervisory Commite. Namun pada intinya mereka itu sama. Sama-sama ditugaskan untuk memastikan seluruh aktivitas dan produk yang ditawarkan oleh Lembaga Keuangan Islam (LKI) telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Yang membedakan antara ketiganya ada pada fungsi dan tugas utamanya. Untuk Dewan Pengawas Syariah di Indonesia, fungsi dan tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI dan mengawasi seluruh rangkaian kegiatan atau aktivitas dari lembaga keuangan islam (LKI). Sedangkan Sharia Supervisory Bord (SSB) itu merupakan suatu komite yang hanya mencakup kepada beberapa wilayah kecil saja. Pengawasnya terdiri dari beberapa ahli syariah yang tugasnya memberikan pengawasan terhadap aktivitas dari suatu lembaga keuangan Islam yang menjadi fokus mereka.

Sedangkan Sharia Supervisory Commite (SSC) adalah sebuah komite yang mencakup pada wilayah luas, tugasnya yaitu mengawasi seluruh aspek operasional dari sebuah lembaga keuangan islam. Dewan pengawasan pada SSB ini lebih besar, dimana pengawasan nya akan dilakukan oleh berbagai ahli syariah dengan latar belakang yang berbeda- beda. Tugasnya yaitu memberikan nasihat, rekomendasi dan pengawasan secara menyeluruh terhadap seluruh aktivitas lembaga keuangan islam.

Di Indonesia sendiri bentuk dari komite pengawas nya hanya ada pada Dewan Pengawas Syariah saja, sedangkan untuk pembuatan fatwa dan penetapan standar syariah nya hanya boleh dilakukan oleh DSN-MUI saja. DSN-MUI ini mempunyai peran penting dalam perkembangan keuangan syariah di Indonesia. Jadi, baik Dewan Pengawas Syariah (DPS) maupun DSN-MUI mempunyai peran nya masing-masing dalam keuangan islam di Indonesia.

Di Indonesia, pembagian DPS menjadi kepada dua bagian tentu menjadi suatu hal yang kurang bijak. Meskipun ada beberapa negara yang memberlakukannya hal tersebut. Tetapi untuk indonesia, hal ini belum dapat direalisasikan. Ini terjadi karena Industri keuangan Islam di Indonesia masih pada tahap perkembangan dan saat ini Indonesia sudah merasa cukup terhada satu bentuk pengawas syariah saja.

Selain itu juga, dengan kedudukan DSN-MUI sebagai lembaga tertinggi dalam hal fatwa dan standar syariah di Indonesia tentu akan cukup dalam melakukan penekanan kepada kesatuan dalam pengawasan syariah. Karena dengan ada nya dua pembagian tugas yang terlalu rinci, tentu akan dapat mengurangi efektivitas dari pengawasan yang akan terjadi.

Di Negara-negara yang menerapkan AAOIFI sebagai standar wajib, tentu akan mengikuti rekomendasi dalam penstandaran anggota yang dilakukan oleh AAOIFI tersebut. Rekomendasi standar yang diberikan AAOIFI ini adalah, 1 (satu) dari 3 (tiga) anggota SSB diambil dari anggota yang berdomisili di negara tempat IFI berada.

Maka dengan cara ini setidaknya ada empat manfaat yang akan dirasakan. Yang pertama adalah, dengan adanya tiga anggota maka akan semakin banyak opini yang diungkapkan. Kedua, dengan ada nya tiga anggota maka akan menghilangkan konflik kepentingan dibandingkan ketika mempunyai satu penasehat saja. Tiga, keputasan fatwa yang diambil tidak akan berdasarkan pada satu suara saja. Keempat, dengan adanya hal tersebut maka akan meningkatkan kepercayaan klien terhadap suatu produk yang ada. Namun perlu di ingat, hal- hal ini tentu tidak selalu menjadi suatu keuntungan saja. Sebab jika adanya ketidakhadiran satu anggota dalam suatu forum maka akan menunda pekerjaan dari DPS itu sendiri.

Faiza Az Zahra
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Depok