Makna Ibadah Haji dan Qurban dalam Pandangan Masyarakat Betawi

Oleh : Murodi al-Batawi

Muslim Betawi sebagai masyarakat religius yang sangat patuh terhadap ajaran Islam. Mereka selalu menjalankan perintah agama dengan baik. Salah satunya perintah berhaji dan Qurban. Karenanya, banyak muslim Betawi yang sudah melaksanakan ibadah haji dan juga berkurban.

Sebagai diketahui, dalam catatan sejarah manusia, pada ribuan tahun lalu, di tanah kering dan tandus di atas bukit-bukit bebatuan yang ganas, sebuah cita-cita universal ummat manusia dipancangkan. Nabi Ibrahim Alaihissalam, telah memancangkan sebuah cita-cita yang kelak terbukti melahirkan peradaban besar. Cita-cita kesejahteraan lahir dan batin. Suatu kehidupan yang secara psikologis aman, tenteram, dan sentosa dan secara materi subur dan makmur. Hal ini dapat dilihat dari catatan al-Qur’an QS. Al-Baqarah:126.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS, al-Baqarah: 126)

Pada hari ini jutaan umat Islam, dari berbagai etnik, suku, bangsa dan bahasa di seluruh penjuru dunia, mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil, sebagai refleksi rasa syukur dan sikap kehambaan mereka kepada Allah SWT. Sementara jutaan yang lain sedang membentuk lautan manusia di tanah suci Makkah, menjadi sebuah panorama menakjubkan yang menggambarkan eksistensi manusia di hadapan kebesaran Rabb Yang Maha Agung. Mereka serempak menyatakan kesediaannya untuk memenuhi panggilan-Nya,“Labbaika Allahumma labbaik, labbaika lasyarikalaka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika lak.”Dengan kesadaran keagamaan yang tulus, kembali mengenang peristiwa keagamaan yang sangat bernilai itu. Mereka coba merefleksikan maknanya pada berbagai bentuk ritual yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya apa yang dipancangkan oleh Nabi Ibrahim itu adalah se¬buah mo¬mentum sejarah yang menentukan perjalanan hidup manusia sampai sekarang ini. Ia menghendaki sebuah masyarakat ideal yang bersih; yang merupakan refleksi otentik interaksinya dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai luhur, dan tata aturan (syariat) yang telah menjadi dasar kehidupan bersama. Sebab keidealan dan kebersihan sebuah masyarakat hanya mungkin terjadi jika terdapat kesesuaian antara realitas aktual dengan keyakinan(aqidah),nilai-nilai luhur(akhlaq) dan tata aturan (syariat) yang diyakini.

Tatanan sebuah masyarakat yang dicita-citakan itu tercermin melalui terbangunnya kehidupan yang seimbang dan tenteram; strkturnya yang stabil dan kokoh; dan produktifitasnya laksana kebun yang pohon-pohonnya rindang yang akar-akarnya kokoh menghunjam ke bumi, tertata dan terawat, enak dipandang, dan buah (kemanfaatan)-nya tidak mengenal musim, serta sekaligus menjadi tempat persemaian generasi mendatang.

Sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan tata kehidupan yang telah dipan¬cangkan oleh Nabi Ibrahim itulah yang terbukti melahirkan cita-cita ketenteraman dan kemakmuran hidup manusia. Itulah agama Nabi Ibrahim, agama Islam yang tulus dan jelas. Tidak ada yang membencinya kecuali orang yang menzhalimi, memperbodoh, dan merendahkan diri sendiri.

Nabi Ibrahim As, merupakan suri toladan abadi yang patut dicontoh. Ketundukannya kepada sistem kepercayaan, nilai-nilai dan tata aturan ilahiah selalu menjadi contoh yang hidup sepanjang masa. “Ketika Allah berfirman kepadanya,“Tunduk patuhlah (Islamlah),”maka ia ti¬dak pernah menunda-nundanya walau sesaat, tidak pernah terbetik ra¬sa keraguan sedikit pun, apa lagi menyimpang. Ia menerima perintah itu dengan seketika dan dengan penuh ketulusan. Keislaman Nabi Ibrahim As, ternyata tidak hanya untuk dirinya sendiri, ketundukannya kepada ajaran-ajaran dan syari’at Allah bukan hanya buat dirinya sendiri, bahkan tidak hanya untuk generasi sejamannya, melainkan untuk seluruh generasi ummat manusia. Atas dasar itulah beliau wariskan Islam dan sikap ketundukan kepadanya untuk anak cucu sepeninggalnya, untuk generasi berikutnya sampai akhir masa. Ungkapan ini tercermin dalam QS al- Baqarah ayat 132.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.Wahai anak-anakku! Sesungguhnyaa Allah telah memilih agama ini bagimu!” (QS, al-Baqarah [2]: 132)

Apa yang diwasiatkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub tersebut jelas mengisyaratkan agar anak cucu mereka, agar generasi sesudahnya menerima dan menegakkan Islam secara utuh serta konsisten dalam merealisasikan cita-cita kesejahteraan. Ketulusan dalam menerima dan menegakkan Islam serta konsistensi pada cita-cita luhur adalah jaminan untuk memperoleh kesejahteran hidup. Se¬baliknya, ketidakpatuhan dan inkonsistensi kepada Islam dapat menjermuskan kehidupan kaum muslimin ke dalam lembah yang penuh nestapa dan akan menjerembabkan manusia ke dalam krisis multi dimensi yang berkepanjangan yang–mungkin kini juga — tengah melanda negeri dan masyarakat kita.

Idul Adha: Lebaran Haji dan Kurban

Di kalangan masyarakat muslim Indonesia, Idul Adha juga dikenal dengan sebutan Hari Raya Kurban. Sebab hari ini, usai shalat ‘Idul Adha, umat Islam, termasuk umat Islam Betawi yang mampu melaksanakan penyembelihan hewan kurban sebagai bukti kesetiaannya kepada miilah Ibrahim. Hari Raya Idul Adha atau kurban di Indonesia merupakan hari raya besar kedua setelah Idul Fitri. Sebaliknya, bagi masyarakat Muslim-Arab di Timur Tengah, Idul Adha merupakan hari raya besar pertama, sementara Idul Fitri dianggap sebagai hari raya biasa. Anggapan bahwa Idul Adha sebagai hari besar, karena di dalamnya telah merekam kejadian penting, yaitu peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahandanya Nabi Ibrahim. Peristiwa tersebut merupakan batu ujian ketaatan Ibrahim kepada Allah SWT. Di kemudian hari, pengurbanan ini menjadi tradisi bagi umat Islam untuk menyembelih hewan kurban baik berupa kambing, sapi maupun kerbau (untuk sebagian muslim Indonesia) setiap tanggal 10 Dzulhijah dan hari-har tasyrik.

Dalam konteks ini, Ali Syariati (1997) menjelaskan bahwa sejarah berkurban diawali pada saat Nabi Ibrahim merasakan kesepian karena hingga umurnya mencapai satu abad tak kunjung dikaruniai anak. Untuk itu, Ibrahim terus berdo’a agar Allah segera memberikannya keturunan yang saleh. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-Shaffat, 37:100.

Rabbi habli min al-shalihin
(“Ya Tuhanku, karuniailah aku seorang anak yang salih” (Qs.37:100).

Selang beberapa waktu, Allah menjawab do’a Nabi Ibrahim As dan memberikannya seorang putra bernama Ismail (dari Bahasa Ibrani yisma-mendengar dan il-tuhan yang berarti: Tuhan mendengar) melalui hamba perempuannya yang bernama Hajar. Namun di tengah kebahagiaan dan kegembiraannya itu, Allah kembali menguji Ibrahim dengan perintah melalui mimpi untuk menyembelih anak yang dikasihinya. Wahyu tersebut adalah perintah Allah, Ibrahim tidak dapat mengelak dari-Nya. Ibrahim menghadapi dua pilihan: “menyelamatkan” Ismail, atau mentaati perintah Allah dengan mengorban kannya. Ia harus memilih salah satu. “Cinta” dan “kebenaran” berperang di dalam batinnya. Untuk me-mecahkan persoalan ini, Ibrahim mendialogkan dengan anaknya
“Wahai anakku aku bermimpi semalam bahwa aku menyembelihmu, bagai¬mana pendapatmu?” Sang anak yang saleh menjawab “Wahai ayahku, jika memang itu perintah Tu¬hanmu, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepa¬da¬mu, insya Allah engkau akan menjumpaiku termasuk orang yang sabar (Qs.al-Shaffat, 37: 102)

Dengan berat hati, Ibrahim menimbang-nimbang, barulah ia yakin dan tipu daya setan tidak dapat menghancurkan keteguhan hatinya. Maka diajak putranya ke lembah Mina untuk melaksanakan perintah Allah. Ismail dibaringkannya seperti layaknya seekor hewan yang hendak dipotong. Ketika pisau menyentuh leher Ismail, segeralah Allah berseru “Wahai Ibrahim engkau telah mentaati perintah-Ku, karena ketaatanmu aku ganti Ismail dengan seekor domba. Dan apa yang kuperintahkan adalah ujian yang berat bagimu semata, dan engkau termasuk orang yang muhsin (Qs.37:104-107). Inilah kisah Ibrahim dan putranya Ismail yang kemudian menjadi tradisi bagi kaum muslimin untuk menyembelih seekor domba
(Qs.37:108).

Kurban—yang secara harfiah berarti mendekatkan—dimaksudkan mendekatkan diri pada Allah dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ibadah kurban mencerminkan pesan Islam: Kita mendekatkan saudara-saudara kita yang kekurangan. Dengan berkurban berarti kita dekat dengan mereka yang fakir. Bila kita memiliki kenikmatan, kita disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila puasa, kita merasakan lapar seperti orang miskin. Maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti kita.

Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna. Pertama, makna sosial, untuk membangun makna ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadisnya.,

“…Siapa yang memiliki kesempatan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”

Dengan ini, Nabi Muhamad Saw ingin mendidik umatnya agar memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Dengan berkurban berarti kita telah menum¬buhkan solidaritas sosial. Rasulullah mengajarkan kita untuk memiliki jiwa sosial. Pada setiap hari raya Idul Adha beliau membeli dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, berbulu putih bersih, bagus fisiknya dan tidak cacat. Kemudian setelah salat dan khutbah beliau menyembelih seekor seraya berkata”…Ya Allah terimalah ini dari Muhamad dan keluarga Muhammad. Lalu Nabi menyembelih seekor lagi dan berkata: Ya Allah terimalah ini dari umatku.”

Dalam konteks sini rasulullah ingin mengajarkan dan memberikan contoh kepada umatnya agar mereka yang mamu berkurban, melakukan kurban selain un¬tuk dirinya, juga untuk keluarga dan saudaranya yang tidak mampu. Lebih dari itu, berkurban diharapkan umat Islam memiliki kesalehan sosial, bukan kesalehan individual.
Makna Kedua

Makna yang kedua, bahwa apa yang dikurbankan tidak boleh menusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun. Nabi Ismail As, sesungguhnya hanya simbol dari setiap sesuatu yang melemahkan iman, setiap sesuatu yang menghalangi“perjalanan menuju kebenaran, setiap sesuatu yang membuat kita memikirkan kepentingan orang lain, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran, setiap sesuatu yang memaksa kita untuk “melarikan diri”, setiap sesuatu yang membutakan mata dan telinga kita. Ismail hanya simbol dari seorang manusia, benda, pangkat, realita, kedudukan dan “ kelemahan diri kita. Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yangharus disembelih dan ditiadakan. Ismail hanya simbol dari setiap sesuatu yang merampas kekebasan dan menghalangi, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran, setiap sesuatu yang menyebabkan kita mengajukan alasan-alasan untuk menghindari tanggung jawab. Sifat-sifat demikian inilah yang harus ditiadakan, disembelih dan dijadikan korban demi mencapai kurban (kedekatan) diri kepada Allah Swt. Itu sebabnya Allah mengingatkan dalam Qs. Al-Shaffat ayat 37.

“Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah; tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya. Demikianlah hal itu (Kami) tundukkan untuk kalian, agar kalian semua bertaqwa.

(Qs.al-Shaffat:370).

Ibadah Haji: Simbol Perjalanan Hidup Manusia

Perjalanan haji merupakan simbol perjalanan panjang hidup seorang hamba menuju Allah SWT. Beberapa simbol kehidupan yang dapat diambil dalam pelaksaan haji diantaranya :

Pertama, bepergian ke rumah Allah (bait Allah) Ibadah haji dapat dijadikan sebagai latihan untuk kembali kepada Allah atau latihan untuk mati, karena ibadah haji adalah ibadah yang dilakukan dengan meninggalkan harta, keluarga dan kampung halaman dengan niat yang satu yaitu menemui Allah dan mencari ridha-Nya, sementara bekal yang harus dibawa oleh setiap jamaah haji adalah taqwa, sebagaimana firman-Nya da¬lam surat Al-Baqarah : 197

“Berbekalah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwaâ

Para jamah haji datang dari berbagai penjuru dunia dengan berbagai latar belakang budaya, suku, bangsa maupun warna kulit, dari berbagai kalangan, baik pemimpin maupun rakyat, kopral maupun jendral, pe¬nguasa dan juga pengusaha, sampai pada rakyat jelata. Semua datang memenuhi panggilan Allah, berada di hadapan Allah bersama-sama tanpa dibeda-bedakan oleh Allah. Hanya satu yang Allah nilai yaitu takwanya. Semua bersatu menuju Allah yang satu. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada dasarnya umat Islam adalah satu. Berasal dari Allah yang satu, dari manusia yang satu yaitu Nabi Adam Alaihissalam. Oleh karena itu, kekuatan Islam terletak pada kesatuan umatnya. Ummatan wahidan Jika saja umat Islam bersatu untuk menumbangkan setan niscaya umat Islam akan menang. Karena setan juga bersatu untuk menghancurkan umat Islam.

Simbol kedua ada pada kalimat talbiyah. Setiap tamu Allah yang datang diminta untuk selalu mengucapkan kalimat talbiyah.

“Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagimu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu”
Ketika kalimat ini diucapkan sebenarnya ia sedang mengingatkan diri sendiri akan niat hidupnya di dunia. Hidup ini selalu dilandasi niat memenuhi panggilan Ilahi Rabbi. Melaksanakan ibadah haji harus dilan¬dasi motivasi memenuhi panggilan Allah semata, bukan mengejar gelar haji, berdagang, apalagi bertamasya. Demikian pula niat hidup adalah untuk menggapai ridha-Nya bukan untuk mengejar kekayaan, pangkat, jabatan atau popularitas. Kalimat talbiyah me¬mas¬tikan kelurusan niat dalam menapaki langkah hidup di dunia.

Simbol ketiga terdapat pada penggunaan pakaian ihram. Berihram dalam ibadah haji merefleksikan kesetaraan antar hamba Allah dalam menjalani hidup ini. Setiap yang berihram akan sadar bahwa sebenarnya se¬mua manusia di hadapan Allah. Yang membedakannya hanyalah takwanya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurat ayat 13.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling
bertaqwa.

Pakaian ihram juga menggambarkan kepada manusia bahwa manusia akan dipanggil Allah tanpa harta benda, pangkat atau jabatan, yang dibawa adalah pakaian ihram yang disebut kafan dan bukan pakaian kebesaran. Berhaji memenuhi panggilan Allah dengan berpakaian ihram, mati juga memenuhi panggilan Allah dengan berpakaian kafan.

Simbol keempat terdapat pada kegiatan tawaf mengelilingi Kaâbah. Ta¬waf secara teratur mengelilingi Kaâbah Musyarrafah mencerminkan penting¬nya menjaga konsistensi hidup di dalam orbit ketaatan kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah telah menggambarkan dengan berjalannya orbit bulan mengelilingi bumi, bumi bersama planet-planet lain mengelilingi matahari. Masing-masing benda langit tersebut berjalan mengeitari orbitnya sesuai dengan apa yang dipe¬rin¬tah¬kan Allah. Sedangkan ma¬nusia, berjalan dalam orbit Allah yang disimbolkan dengan Kâbah. Allah berfirman dalam Surat Al Anâam ayat 162 :

“Sesungguhnya shalaku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alamâ”.
Oleh karena itu, apapun potensi seseorang ia harus selalu menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai sentral hidupnya. Bukan ketaatan kepada selain Allah. Karena ketaatan kepada selain Allah akan membuat ia musyrik, dosa yang tidak mungkin Allah ampuni selamanya.

Simbol kelima ada pada aktivitas melontar jumroh. Melontar jumroh merupakan salah satu rangkaian kegiatan ibadah haji yang mencerminkan sikap penen¬tang¬an para hamba Allah terhadap iblis beserta kroni-kroninya. Suatu bentuk kon¬frontasi abadi antara pembela kebenaran melawan pembela kebatilan. Manusia harus menyadari bahwa setan dengan segala daya upayanya yang hanya ingin mencari teman untuk di neraka merupakan lawan yang harus dijauhi. Hanya dua jalan yang perlu dilakukan manusia yaitu mesuk Islam secara keseluruhan dan menjauhi syithon. Sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 208 :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon, sesungguhnya syaithon itu musuh yang nyata bagimu”
Sedang simbol keenam terdapat pada kegiatan wukuf di Arafah. Dari sekian ba¬nyak kegiatan manasik haji terdapat satu bentuk kegiatan yang paling istimewa, yaitu wukuf di Arafah. Nabi Muhammad SAW, bersabda :
“Haji adalah wuquf di Arafahâh.”

Hadits ini memberikan penjelasan kepada umat, bahwa haji seseorang tidak sah tanpa melakukan wuquf di Arafah. Wukuf berasal dari kata âl-waqfâ, yang berarti berhenti atau berdiam diri. Arafah berarti pengenalan. Wukuf di Arafah dapat diartikan berhenti sejenak untuk mengenal Allah SWT dengan segala kekuasaan-Nya serta mengenal jati dirinya sendiri, dari mana dia datang, untuk apa dia sekarang dan ke mana dia akan pulang. Dari sini setiap manusia harus melakukan introspeksi diri atau muhasabah, lalu menyadari akan kesa¬lah¬an-kesalahan pada dirinya kemuduain bertaubat dan bertekad untuk menjalani kehidupan yang lebih Islami lagi. Menjalani hidup sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Di sini para jamaah haji juga seharusnya dapat membayangkan bagai¬ma¬na keadaan di padang Mahsyar nanti yang disitu manusia menunggu keputusan Allah SWT apakah akan dimasukkan ke surga atau ke neraka.

Ibadah haji: Konsolidasi Monotheisme

Kehadiran I’dul Adha memiliki makna penting. Salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran monoteisme Nabi Ibrahim as. yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Nabi Ibrahim as menghantarkan pada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah SWT sebagai sumber kehidupan, moralitas bahkan eksistensi itu sendiri. Tanpa Allah, yang ada hanya kekacauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim as untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata, sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan menikmati kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis dan seimbang.

Pengorbanan dan persembahan yang dilakukan Ibrahim as merupakan perwujudan dari hal itu. peristiwa ini memiliki dua dimensi yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri (kurban) dan dialog dengan Allah dalam rangka menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Proses ini mengkondisikan umat manusia mepelaskan segala hawa nafsu, ambisi dan kepentingan sempitnya, sehingga dapat menjumpai Tuhan Rab al-Izzati. Secara horizontal, hal itu melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Wahyu Allah yang diturunkan kepada Ibrahim as untuk mempersembahkan kepada Tuhan-Nya yang lalu digantikan dengan binatang kurban, menunjukkan bahwa tidak seorang manusiapun boleh merendahkan manusia lainnya, menjadikannya sebagai persembahan, atau melecehkannya dalam bentuk apapun. Sebab manusia sejak awal dilahirkan setara dan sederajat. Nilai-nilai yang merefresentasikan kesetaraan dan sejenisnya, perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan, sehingga dunia dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan hakiki.

Pada hakikatnya, Allah tidak membutuhkan apa-apa, termasuk persembahan. Perintah Allah kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putera tersayangnya hanya merupakan perintah untuk menguji ketaatan manusia dalam merespons pesan dan perintah Ilahi dan kesediannya untuk tidak dikungkung oleh kediriannya (egoismenya) yang subyektif, atau impuls-impuls kejahatan yang menipunya. Persembahan (kurban) hanya sekadar simbol yang melambangkan makna yang lebih substansial, yaitu ungkapan ketaatan untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang sejatinya selalu bersesuaian dengan nilai kemanusiaan abadi.

Berdasarkan monoteisme nabi Ibrahim as, Rasul Allah Muhamad Saw mengajarkan kepada umat Islam agar seorang muslim hanya menyembah kepada Allah (tauhid uluhiyah) dan pada saat yang sama harus pula meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, bersifat mutlak, dan transendenta (tauhid rububiyah). Keyakinan seperti itu menunjukkan bahwa segala sesuatu yang selain Allah merupakan makhluk yang tidak memiliki hak sedikitpun untuk diperlakukan sebagai tuhan atau disikapi seperti tuhan. Dan pada saat yang sama, halitu menggambarkan ketidakbolehan manusia untuk memperlakukan manusia secara semena-mena atau direndahkan karena manusia di hadapan Allah adalah sederajat. Pembedanya hanya tingka ketaqwaannya.

Implikasi logis dari hal itu adalah munculnya tauhid sebagai nilai moral transformatif dalam kehidupan sosial. Ketauhidan Islam adalah akidah yang menumbuhkan moralitas pembebasan manusia. Dengan demikian, ada hubungan tak terpisahkan antara ide monoteisme pada satu pihak, dan pengembangan moral kemanusiaan universal di pihak lain. Kedua aspek itu merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Surat al-Maun menggambarkan secara konkret nilai-nilai tersebut. Surat itu menggambarkan dengan jelas bahwa orang yang tidak memiliki solideritas sosial dan nilai-nilai semacam itu, memiliki posisi yang sama dengan orang yang mendustakan agama.

Pengembangan tauhid dalam kerangka pemahaman menyeluruh itu mensyaratkan adanya kesiapan umat Islam untuk merekonstruksi keberagamaan mereka (umat) dengan cara memahami dan memaknai ajaran dan nilai-nilai agama Islam secara menyeluruh dan menghindari sejauh mungkin pemahaman sepotong-potong dan sempit. Dalam konteks ini, umat Islam perlu menyikapi ritual-ritual agama selain sebagai konkretisasi bentuk ketaatan kepada Tuhan, juga perlu menangkap makna intrinsik yang terdapat pada ucacara keagamaan. Dalam konteks ini, udhiyah ( sacrifice) dalam Idul Adha perlu dimaknai dalam kerangka pembumian nilai-nilai agama yang memiliki spektrum moral yang luas. Perngorbanan merepresentasikan upaya pencapaian nilai-nilai kebaikan sejati, seperti melepaskan egoisme, narsisme, dan sejenisnya, berlaku adil kepada sesama, dan mengembangkan kesederajatan dalam kehidupan.