Kampung Opang, Dusun Batusara, terletak di ketinggian sekitar 1.400 mdpl di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Di daerah pegunungan yang sejuk itu, hidup komunitas kecil muslim mualaf di tengah masyarakat yang masih kuat memegang adat lama. Di sanalah Ustaz Riswan, dai muda dari Dewan Dakwah, mengabdikan diri.
Menuju Opang bukan perkara mudah. Jalannya menanjak dan menurun, melewati bukit-bukit curam, batuan terjal, dan lumpur licin saat hujan. Jurang-jurang dalam mengapit di sisi kiri dan kanan jalan. Semua hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor yang tangguh dan keberanian yang besar.
Namun, semua rasa lelah itu terbayar lunas saat tiba di Dusun Batusara. Sambutan warga begitu hangat. Mereka dikenal sangat menghormati tamu.
“Kami sangat senang kalau ada yang mau datang ke sini memberi bimbingan. Jangan sungkan, orang di kampung ini semua saudaramu,” ujar Ambe Turu’, Kepala Adat setempat, saat pertama kali menerima Ustaz Riswan.
Meski jumlah muslim masih sedikit, semangat Islam di sana terus tumbuh.
Dakwah yang Hangat di Tengah Keberagaman
Sebagian besar warga Opang menganut kepercayaan Aluk Todolo (animisme) dan Kristen. Karena itu, pendekatan kultural menjadi jalan utama dakwah Ustaz Riswan.
Ia hadir dalam kegiatan adat, membantu di ladang, ikut pesta panen kopi, dan berbaur dalam keseharian masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan diberi ruang untuk menyampaikan tausiyah di tengah acara adat. Menariknya, bukan hanya muslim, warga nonmuslim pun ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Masjid Kayu Nurul Huda, Sumber Cahaya di Lereng Gunung
Masjid Nurul Huda berdiri sederhana, berdinding kayu, dengan tangga kecil di sisi kanan dan kiri. Jamaahnya tak banyak. Saat shalat Jumat, kadang hanya enam orang yang hadir, karena sebagian besar warga sedang berada di kebun.
Namun, kehadiran Ustaz Riswan membawa napas baru. Bersama warga, ia memperbaiki bagian dapur masjid yang bolong agar tidak lagi dimasuki anjing. Masjid kayu itu kini menjadi pusat kegiatan keislaman di Kampung Opang.
Pada hari ketiganya di Opang, Ustaz Riswan mulai mengajar anak-anak TPA di Masjid Nurul Huda. Kegiatan belajar dilakukan setiap sore setelah ashar.
Anak-anak itu pemalu terhadap orang baru. Tapi ada satu hal yang membuat mereka cepat akrab, permen. Dari sebungkus permen, jembatan hati pun terbangun. Kini, setiap kali bertemu, mereka tak segan menyapa.
“Kak, nanti tinggal di sini ya, ajari kami,” ucap seorang anak polos.
“Kak, nanti kita ngaji lagi ya, nanti pakai kapatung,” sahut yang lain antusias.
Ada 19 anak yang kini dibina Ustaz Riswan, meski tak semuanya bisa hadir rutin. Sesekali, mereka diajak menginap di masjid, shalat berjamaah, dan menonton film sirah Nabi.
“Semoga dari kegiatan sederhana ini mereka semakin cinta masjid dan terbiasa shalat berjamaah,” ujar Ustaz Riswan penuh harap.
Keterbatasan Tak Menghalangi Dakwah
Medan berat, adat yang kuat, dan akses yang sulit tak membuat Ustaz Riswan surut langkah. Dengan ketulusan dan kesabaran, dakwah di pelosok itu tumbuh dari hal-hal kecil, sapaan hangat, kebersamaan memetik kopi, hingga sepotong permen yang memecah jarak.
Dari situlah cahaya Islam perlahan menyinari lembah-lembah sunyi di Pinrang.*
